Kekosongan

Pada bagian berikut ini kita akan berbicara tentang 'kekosongan'. Maksud 'kekosongan' adalah meniadakan sesuatu selain hanya tujuan dan niat karena Allah tanpa ada tendensi sesuatu yang bersifat semu dan merusak niat. Di dalam kekosongan tersimpan 'isi' yang sarat dengan makna-makna hakiki.

Maka hakekat 'kekosongan' adalah 'isi', bukan hakekat kelihatannya 'berisi' tetapi sebenarnya adalah 'kosong'. Dalam proses jalan menuju dan mendekatkan diri pada Allah, seorang hamba harus memahami makna 'kekosongan', sebab bila diabaikan dan tidak dipahami mustahil sampai kepada tujuan.

Untuk menjelaskan makna danmaksud dalam kekosongan ini, kita akan mengambil contoh sederhana dalam realitas kehidupan pengalaman keagamaan sehari-hari, baik secara berkelompok (berjamaah), individu, dalam sikap, ucapan, penglihatan maupun dalam wujud benda yang berada di sekeliling kita. Berikut ini akan diuraikan satu persatu.

1. Kekosongan dalam Berjamaah

Kekosongan yang dimaksud di sini adalah satu rasa dan sikap untuk mencapai tujuan tertentu. Atau dengan kata lain, mempunyai suatu pandangan dan niat yang sama tanpa memandangtinggi rendah derajat dalam rangka suatu tujuan yang dikehendaki. Seseorang yang memasuki suatu kelompok atau jamaah seperti jamaah mujahadah, jamaah dzikir atau pengajian hendaklah satu pandangan dan satu tujuan. Dari manapun seseorang berasal, kedudukan yang ia duduki, tingkat pemahaman apapun ia ketahui, semestinya tidak dibawa ke dalam jamaah. Sebab jika identitas semua itu masih melekat, maka dengan sendirinya akan mengganggu totalitas kepribadian seseorang dalam satu jamaah. Ini berarti penghalang untuk mencapai tujuan, danbahkan merusak jamaah itu sendiri.

Dalam satu jamaah (perkumpulan), biasanya tidak terlepas dari hal-hal sebagaimana yang dikatakan tadi. Sangat sulit untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Dilihat dari aspek lahir, kegiatan jamaah (seperti: ceramah, dzikir atau membaca Al-Qur'an) cukup semarak, ramaidikunjui orang, syahdu dan khusyu', tapi dibalik semua itu tersimpan 'sesuatu', yang disadari atau tidak masing-masing orang membawa identitas dirinya yang secara langsung ingin diakui dan dihormati keberadaannya. Bila ada jamaah (perkumpulan) yang seperti ini, maka ini merupakan tanda bahwa jamaah itu 'cacat', dan bergeser dari niat, sehingga amal menjadi sia-sia,s erta hulang manfaat dan berkah dari jamaah. Kelihatan giat dan semarak tapi sebenarnya semu dan lari ditempat. Kelihatan banyak pengikut dan penggemarnya, tapi sarat dengan kepentingan.

Apalagi diisi atau ditumpangi dengan kepentingan duniawi dan masalah-masalah lain yang lepas daru tujuan utama berjamaah. Mungkin disini terletak bedanya pemahaman antara tokoh yang mengumbar 'segudang dalil' dengan tokoh spritual yang diam dan tawadu'. Bagi tokoh spritual (waliullah atau ulama) tidak penting persoalan 'penampilan' dengan segala bentuk dan variasinya, yang penting adalah 'isinya'. Tidak penting banyak pengikut, penggemar atau pengagum kalau merusak niat dan amal yang lain. Tidakpenting tentang dimana dan kapan suatu kegiatan jamaah itu diadakab, yang penting adalah bagaimana niat ibadah dapat dilaksanakan. Tidak penting siapa pengikutnya, yang penting bagaimana menyadarkan dan menumbuhkan keyakinan iman kepada yang hadir dalam kegiatan jamaah itu.

Bagi tokoh spritual, nila bergeser dari niat karena Allah, maka segala kegiatan yang dilakukan dianggap cacat dan batal, sehingga tidak memperoleh ganjaran apa-apa. Oleh karena itu, jangan heran bila ada suatu jamaah (perkumpulan) karena lantaran figure dzohir kyainya atau banyak pengikutnya pada awal semarak, tapi kemudian hilang tanpa bekas. Pada awalnya sang Kyai dipuji dan dihormati namun kemudian dihina dan dicaci. Seorang tokoh agama yang tidak memahami makna 'kekosongan' akan mudah sirna dan hilang kepercayaa masyarakat. kemunculannya dipromosi tetapi kemudian kejatuhannya mendadak. Karena itu pelopor atau tokoj perkumpulan (jamaah) suatu pengajian atau dzikir harus terlebih dahulu memahami makna 'kekosongan' sebelum perkumpulan (jamaah) tadi diikuti banyak orang. Bagaimanan mungkin ingin menanamkan iman kepada anggota jamaah jika tokoh agama tadi tidak mengosongkan diri dari kepentingan sesuatu selain hanya Allah

Pengetahuan atau pemahaman tentang '’kekosongan’' dapat dipelajari langsuing kepada kenyataan yangada pada perkumpulan (jamaah) itu sendiri. Sesungguhnya majelis itu sendiri jika diteliti secara seksama dengan menggunakan pemahaman yang dalam, maka di sana akan terungkap semua makan dari kekosongan. Hanya saja kebanyakan kita lalai dan lupa untuk menangkap fenomena dari masing-masing keinginan setiap anggota jamaah. Tidak semua yang hadir lurus niatnya untuk mendekatkan diri pada Allah. Niatnya sering kali ditumpangi dengan kepentingan sesuatu atau karena unsur keterpaksaan dan ikut-ikutan , sehingga tujuan mensemarakkan ahama menjadi terabaikan atau terlena dengan berbagai penampilan lahiriyah yang mengagumkan. Berkah jamaah sebagai inti dari 'kekosongan' sama sekali tidak dipahami dan dirasakan dan majelis menjadi hambar tanpa mebuahkan apa-apa.

Untuk mencapai pada tingkat 'kekosongan' suatu jamaah, maka setiap anggota jamaah harus dihadiri orang-orang yang 'lurus niatnya', dan menerima kenyataan apa adanya terlepas dari penampilan dan kemegahan. Perlu mempertanyakan niat yang tersimpan di lubuk hati paling dalam tentang apa tujuan mengikuti kegiatan. Niat harus dipelihara jangan sampai terpengaruh oleh situasi dan kondisu yang ada. Sebab yang dinilai bukan situas dan kondisinya atau siapa tokog agama yang mengisi kegiatan, tapi niat yang ada pada hati sanubari. Bila setiap anggota jamaah dapat mempertahankan niatnya (tujuan utamanya untuk mencari keridhaan Tuhan), maka dengan sendirinya perkumpulan itu akan penuh berkah dan dapat menjadi sarana meningkat iman.Tapi sebaliknya, jika ada satu atau sebagian yang menyelewengkan niat dan terpengaruh pada situasi majelis, maka majelis akan rusak. Penyelewengan niat itu disebabkan timbulnya suatu perasaan tidak senang pada situasi dan kondisi majelis yang dilihat. Sehingga menimbulkan perasaan dengki, iri, riya' (menonjolkan diri), seombong, dn bahkan menimbulkan sikap putus asa atau rendah diri. Rendah diri bukan karena Tuhan, tapi karena mejelis manusia yang dikondisikan. Bila terjadi yang seperti ini, maka majelis diibaratkan seperti 'ada tapi tiada', kelihatannya 'bersama tapi tidak bersama', melihat tapi buta', 'mendengar tapi tuli', dan seterusnya.

2. Kekosongan dalam Diri Sendiri

Kekosongan dalam diri sendiri dapat diartikan dengan: (a) meniadakan diri sendiri meskipun secara nyata 'aku' ini ada. Dalam melakukan amal sholeh, kekosongan diri diartikan sebagai peniadaan terhadap apa yang kita miliki, baik lahir maupun bathin. Secara lahir seperti meniadakan atau berlepas dari pangkat, harta, kedudukan dan martabat serta keturunan. Sedangkan sevara bathin adalah seperti merasa dhoif lemah dan berdosa di hadapan Allah. Selama identitas ini masih tetap melekat pada diri, maka selama itu pula amal sholeh akan sia-sia. Diterimanya suatu amal sholeh jika hati dan jiwanya mampu mengosongkan diri. Andaikan ia tidak mempengaruhi eksistensi dirinya. Hati dan jiwanya tidak membuat lupa dengan Allah. andaikan semua yang dimiliki itu sirna, maka tidak membuat imannya berkurang. (b) Meniadakan sesuatu yang ada dalam benak pikiran, yaitu berupa khayalan/ilusi. Selama hati dan pikiran belum merasa kosong dari apa yang ada di luar dirinya, maka selama itu pula ia tidak akan pernah menemukan pintu menuju Tuhan.

3. Kekosongan di Luar Diri Sendiri

Untuk mencapai kepada kekosongan diri sendiri, maka perlu memahami makna kekosongan di luar diri kita. Tetapi 'kekosongan' yang dimaksud di sini adalah memahami sesuatu yang menurut dhohir kosong tetapi sebenarnya secara bathin justru tidak. Untuk memahami ada empat contoh yangdapat dikemukakan:

a. Kosong dalam Benda Berwujud

Kosong dalam benda berwujud, yaitu sesuatu benda yang kelihatannya kosong tapi berisi. Isinya tidak bisa diraba dan dilihat, tapi dapat dibuktikan, bahwa ada isi dibalik kekosongan itu. Seperti ada makhluk ghaib (syetan atau jin) yang masuk pada diri seseorang yang lemah iman. Kelihatannya biasa saja, tapi sebenarnya pada diri orang tadi 'ada' jin atau syetan yang mengganggu jiwa dan pikirannya, sehingga membuat orang itu hilang keseimbangan diri. Yang dapat melihat jin atai syetan tadi adalah orang yang sudah mencapai dan pernah masuk ke alam kekosongan. Atau orang yang telah dapat melepaskan diri dan meniadakan sesuatu yang mengganggu dan mempengaruhi jiwa dan pikirannya.

b. Kosong dalam Sikap atau Gerak

Kosong dalam sikap dan gerak, yaitu suatu sikap yang kelihatannya kosong taoi sebenarnya penuh isi dan berarti. Kelihatannya pasif tapi sebenarnya aktif dan dinamis. Contoh seperti orang khalwat (mengasingkan diri untuk berdzikir dan ibadah). Menurut kebanyakan orang ia kosong (tidak bermakna) dan pasif, tapi sebenarnya ia sedang mengisi magnit pada dirinya, contoh lain, seseorang duduk tafakur, diam tanpa berbuat. Kelihatan ia malas tapi sebenarnya ia sedang berfikir tentang sesuatu yang lebih bermanfaat bagi orang lain. Kebalikan dari itu adalah bergerak atau berbuat tapi hakekatnya kosong, yaitu sesuatu yang kelihatan giat berbuat demi agama dan umat, tapi yang dicari adalah popularitas.

c. Kosong dalam Ucapan

Kosong dalam ucapan, yaitu seseorang yang kelihatannya diam tapi sebenarnya ia bersuara. Hanya saja suaranya tidak dapat didengar oleh orang lain. Contoh orang arang kosong dalam ucapan adalah orang yang diam tanpa suara, tapi hatinya senantiasa berdzikir pada Allah. bila orang diam ini kemudian bersuara, maka suaranya akan mengandung magnit yang luar biasa. Kebalikan dari itu adalah orang yang bersuara tapi kosong, yaitu pandai berbicara, tapi ucapannya kurang berbekas, hambar dan tidak berpengaruh baik pada dirinya maupun orang lain.

d. Kosong dalam Penglihatan

Kosong dalam penglihatan, yaitu sesuatu yang tidak nampak apa-apa (kosong) alam penglihatan mata dhohir tapi ada sesuatu yang berwujud dalam penglihatan mata bathin. Contoh kuburan yang kelihatan sepi tanpa bunyi, tapi sebenarnya ada mayat yang sedang diazab oleh Malaikat Munkar Nangkir. Atau sebuah masjid yang kelihatan sepi, tapi sebenarnya banyak Malaikat yang sedang bertasbih di situ. Kebalikan dari itu adalah melihat tetapi kosong. Yaitu orang yangseolah-olah melihat sesuatu di tengah kekosongan, tapi sebenarnya hanya khayalan atau ilusi. Orang seperti ini adalah orang yang terbawa hawa nafsu, tanpa mengerti makan dari kekosongan itu sendiri. Masih banyak contoh-contoh lain tentang kekosongan yangdapat kita tangkap dari kenyataan yang ada dalam kehidupan beragama sehari-hari.

4. Pemahaman tentang Kekosongan

Untuk memahami kekosongan tergantung pada kadar atau kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing orang. Untuk golongan awam, pemahaman mereka terbatas, kurang mengerti tentang apa dan bagaimana isi yang sesungguhnya terdapat pada kekosongan itu. Mengerti hanya sebatas yakin tanpa disertai penglihatan mata bathin. Sedangkan untuk golongan para waliyullah atau ulama (took-tokoh spiritual yang khowasul khowas) mereka mampu memahami dan menerangkan secara 'ainul yakin' apa dan bagaimana isi dibalik kekosongan itu. Dengan penglihatan mata bathin yang tajam mereka mampu melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh mata dhohir. Adapun untuk golongan para Nabi dan Rasul baik secara ilmul yakin, ainul yakin, dan haqqul yakin, mereka diberi keistimewaan khusus untuk memahami, menerangkan dan mengungkapkan hakekat kekosongan. Bahkan mereka atas izin Allah mampu memahami semua kekosongan baik yang ada di bumi maupun di langit.