Birokrasi Menuju Allah
- Detail
- Ditulis oleh : Pujangga Tanpa Sangka
Allah s.w.t. ada dimana-mana. Dia menciptakan semua makhluk yang ada di langit dan di bumi. Maha tunggal, termpat bergantung segala sesuatu. Temaat semua makhluk memuji dan memohon. Maha mengabulkan semua do'a hamba-hambanya. Maha melihat dan mengetahui semua kehendak dan cita-cita makhlukNya.
Tidak satupun makhluk yang dapat menghalangi kehendakNya. Semua makhluk di langit dan di bumi dibawah kendali kekuasaaNya. Dia belas kasih, pemaaf, pengampun, pemilik syurga dan neraka. Yang memberikan rezki, hidayah dan rahmat kepada kita semua.
Bila demikian, lantas bagaimana seseorang secara lahir danbathin dapat dekat dengan Allah s.w.t. sehingga mendapat memperoleh curahan rahmatNya? Bagi para Nabi dan Rasul sebagai manusia pilihan tentu tidak ada masalah, karena mereka langsung diangkat menjadi wali Allah di bumi. Mereka senantiasa dekat dan dapat berdialog langsung dengan Tuhan, tanpa batas dan hijab. Yang menjadi masalah adalah bagi kita umat Rasulullah s.a.w. yang telah ditinggal wafat. Apakah kita memilikijalan atau cara untuk mendekatkan diri, sehingga kita dapat mengikuti jejak-jejak para Nabi dan Rasul?
Jawabannya, mari kita lihat cara-cara yang pernah ditempu oleh umat Islam selama ini. Paling tidak secara sederhana kita dapat membagi ke dalam tiga golongan, yaitu cara golongan orang awam, golongan orang khusus dan golongan orang istimewa. Berikut ketiga cara itu akan kita jelaskan satu persatu.
1. Golongan Awam
Golongan awam adalah golongan mayoritas umat Islam saat ini. Cara mereka menuju Allah dengan menggunakan pendekatan keyakinan hanya sebatas Rukun Islam dan Rukun Iman yang ia ketahui. Golongan ini terbagi menjadi dua golongan lagi, yaitu golongan awam biasa dan golongan awam khusus.
a. Golongan Awam Biasa
Golongan awam biasa adalah golongan yang kadar pemahaman dan upaya mendekatkan diri pada Allah hanya mengerti lewat informasiayah dan Ibu (keturunan), lewat teman-teman dekat atau lewat buku-buku Islam yang secara kebetulan pernah dibaca. Keyakinan pada Allah bagi golongan ini hanya di mulut. Beridentitas sebagai Muslim, tetapi tidak pernah ingin mengetahui bagaimana cara mendekatkan diri pada Allah. Dengan berlabel Islam sudah cukup, tidak perlu susah-susah memahami dan mendalami berbagai macam ajaran yang telah digariskan Allah.
b. Golongan Awam Khusus
Golongan ini adalah golongan yang telah menjalani Rukun Islam, tetapi hanya sebatas apa yang ia dapat kerjakan. Bagi mereka dengan menjalankan sholat, puasa, zakat dan haji adalah sudah cukup membuktikan bahwa dirinya sudah Islam sungguhan. Golongan ini tidak mengenal istilah “apa itu dimensi bathin”, “apa itu waliyullah” dan “apa itu tokoh spiritual”.Bagi mereka itu tidak penting, sebab Islam tidak mengajarkan semua itu. Islam hanya menginduk pada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Apa yang diperbuat Nabi maka ditiru, selain itu sesat dan tidak boleh dikerjakan. Golongan ini tidak mengenal istilah tasawuf, kenikmatan bathin. Yang penting memfungsikan rasio semaksimal mungkin. Golongan ini memahami Al-Qur'an dan Sunnah Nabi serta realitas alam hanya dengan serba rasio. Mereka tidak mengenal alam bathin, alam irrasional. Yang ditekuni hanya lahir dan rasio melulu. Dan bahkan hingga men-Tuhan-kan akalnya sendiri. Mendekatkan diri pada Allah dengan rasio, bukan dengan keluasan hati atau perasaan. Karena berfikir serba rasional, maka banyak diantara mereka yang tidak mempercayai hal-hal yang irrasional, seperti adanya azab kubur, sihir dan sebagainya.
2. Golongan Khusus
Golongan khusus adalah golongan tertentu dari umat Islam yang mempunyai cara-cara tersendiri untuk menuju Tuhannya. Golongan ini adalah golongan ahli syariat yang menguasai Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, tetapi hanya sebatas pada masalah-masalah lahir. Mereka mengakui bab-bab bathin dari agama, tetapi pengakuan mereka sebatas apa yang didengar dan didapat dari guru-gurunya. Sumber-sumber pengetahuan masalah bathin diperoleh dari kitab-kitab tasawuf yang diajarkan oleh gurunya. Kemudian dipahami dalam kadar ukuran lahiriyah. Untuk menuju Allah, ia tidak dapat lepas dari apa yang telah didapatkan dari guru-gurunya tadi. Oleh karena itu, metode mereka menuju Allah tidak boleh menyimpang dari petuah para gurunya. Jika ada suatu kreasi baru yang bertentangan dari apa yang ia peroleh dari gurunya, maka itu dianggap tidak sah, atau tidak boleh digunakan, dan bahkan tidak jarang dianggap telah keluar dari agama.
Cara mereka menuju Allah melalui tahap-tahap yang begitu procedural, sehingga kelihatan sangatrapi dan sistematis. Tapi dibalik sistematis itu, meskipun benar, namun banyak mengandung kelemahan-kelemahan dan kontradiksi di sana sini, sehingga menimbulkan kontra pemahaman di antara sesama mereka sendiri. Bahkan tidak jarang timbul caci maki dan perebutan pengaruh. Penyebannya tidak lain karena mereka memiliki konsepsi tentang Allah hanya sebatas rongga dada, terpaku pada buku-buku tauhid dan tasawuf yang pernah diajarkan oleh guru-gurunya. Jalan menuju Allah seolah-olah menjadi begitu sempit, dan menganggap jalannya saja yang palingbaik dan benar. Tanpa jalan itu seolah-olah Allah tidak dapat didekati.
Sistematika jalan mereka berangkat menuju Allah tidak langsung kepada Tuhan itu sendiri, tetapi melalui tahapan-tahapan yang berangkat dari berkah atau tawasul kepada guru-gurunya yang sudah mendapat predikat wali atau ulama. Dalam bertawasul itu melalui birokrasi yang bermacam-macam. Pertama, untuk menuju kepada Tuhan bertawasul kepada Malaikat dan Nabi-Nabi. Tujuan tawasul adalah minta dido'akan para Malaikat dan syafaat Nabi. Tawasul gaya singkat seperti ini merupakan jalan terobosan yang dilakukan oleh sebagian orang yang beranggapan tidak perlu lagi melewati guru-gurunya, tapi langsung saja lepada para Nabi dan Malaikat yang sudah jelas dan diakui keberadaannya sebagai wakil-wakil Tuhan yang dekat dengan Tuhan. Kedua, disamping bertawasul kepada para Nabi dan Malaikat, tetapi juga dengan para tokoh spiritual. Mereka dianggap cocok dengan pemahamannya. Bertawasul dengan dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang pernah dilakukan oleh para tokoh spiritual. Ataupun berusaha beramu suatu rangkaian wirid yang diperoleh dari guru-gurunya kemudian diamalkan secara istiqamah. Ketiga, tawasul tanpa pandang bulu, yaitu tidak hanya kepada Malaikat, para Nabi, para ulama atau wali, tetapi juga kepada seluruh umat Muhammad s.a.w., baik yang sudah wafat maupun belum. Rangkaian wirid dan do'anya amat panjang, karena semua do'a para Nabi, para wali dan ulama dibacakan.
Apakah tawasul menurut ajaran tauhid dapat dibenarkan? Banyak argumentasi untuk menjelaskan persoalan ini. Bagi tokoh-tokoh spritual tasawuf tidak bertentangan dengan tauhid, sebab tawasul bukan berarti memperantarai antara hamba dan Kholiq atau menyembah sesuatu selain Allah, melainkan upaya berkualisi untuk bersama-sama mencapai ke kehadirat Allah. Seperti halnya kita dibenarkan untuk meminta dido'akan oleh orang lain, meskipun kita sendiri bisa langsung kepada Allah. Tanpa diminta pun orang yang sholeh dan para Malaikat pasti akan mendo'akan kita semua.
Yang tidak sejalan dengan tauhid apabila tawasul itu diartikansebagai sandaran utama yangdapat memberikan pertolongan. Sebab jika beranggapan demikian, maka itu sama artinya mengecilkan Tuhan itu sendiri sebagaui Zat Yang Maha Mengerti. Oleh karena itu, yang menggunakan cara tawasul untuk mendekatkan diri kepada Tuhan seharusnyalah mereka yang sudah mempnyai pemahaman dan pengetahuan yang mendalam tentang tawasul dan ulmu tauhid. Sebab jika tidak, maka akan terjerumus kea rah menyekutukan Allah. Seolah-olah tanpa lewat para Nabi, para ulama atau wali, do'anya tidak dikabulkan. Bagi yang berkeinginan menuju Tuhan lewat tawasul, maka semestinya apa yang dibacakan (Al-Qur'an, dzikir dan do'a) dalam tawasul itu tidak ditujukan kepada para Nabi, ulama atau wali, melainkan ditujukan langsung kepada Allah.
Meskipun tawasul itu dapat dijadikan sarana menuju kedekatan pada Allah, namun sedikit banyak akan mengurangi keyakinan dan kepercayaan diri seseorang pada Tuhannya sendiri. Bila seseorang terlalu mengandalkan tawasul, maka lama-kelamaan kepercayaan dirinya akan hilang. Padahal Allah sangat menyenangi hambanya yang menaruhkan kepercayaan langsung kepada Tuhan daripada bersandar kepada keyakinan dan do;a orang lain.
3. Golongan Istimewa
Golongan istimewa adalah golongan khowasul-khowas yang non-prosedural dalam menuju dan mencari Tuhannya. Golongan ini tidak mengenal istilah tawasul atau berkah. Yang ada hanya dirinya dan Tuhannya. Selain itu adalah makhluk-makhluk yang lemah dan tidak berdaya di hadapan Tuhan. Walaupun ada sedikit jalan tawasul yang digunakan tapi bukanlah pemahaman tawasul sebagaimana dipahami oleh kedua golongan di atas. Tawasul bagi golongan istimewa bukan mencari berkah, tapi sekedar do'a dan penghormatan untuk para Malaikat, Nabi, ulama atau wali, sebagaimana kita diwajibkan oleh Allah untuk melantunkan sholawat kepada Rasulullah s.a.w. Golongan istimewa berpendapat bahwa seseorang tidak dapat memberikan berkah apa-apa kalau tanpa izin Allah. Jadi segala urusan harus dikembalikan langsung pada Allah. Obyek sasarannya tidak lagi kepada makhluk tapi kepada Allah itu sendiri. Allah dipahami sebagai pemberi rahmat kepada siapa saja selama hambanya berkeinginan untuk dekat kepada-Nya. Allah tidak pandang bulu, apakah hamba-Nya penuh dosa atau seorang ahli ibadah. Bagi golongan ini, manusia semuanya dhoif tidak dapat memberikan manfaat dan mudhorat.
Metode golongan istimewa ini dikenal fleksibel dalam menuju Allah. Tanpa birokrasi yang berbelit-belit serta tanpa persyaratan yang berliku-liku. Dalam menuju Allah menampilkan diri apa adanya dan mengaku secara terus terang bahwa dirinya butuh petunjuk dan rahmat. Allah dijadikan tempat mereka bertanya dan berdialog, segala persoalan dan meminta bantuan dikembalikan langsung kepada Allah.
Metode golongan istimewa ini tidak banyak digunakan, bahkan banyak dikecam oleh para ahli syar'i atau ahli thoriqoh, karena dinilai terlalu ceroboh dan sembrono dengan Allah. Kecaman tadi secara syar'i mungkin dapat dibenarkan, tapi kecaman itu hanyalah sekedar kamuflase diri karena tidak mampu melakukan metode seperti mereka. Padahal menurut mereka, justru cara inilah yang lebih cepat menuju Allah. Persyaratannya sederhana, yaitu cukup dengan bermodal taubat dan keyakinan serta menjalankan perintah wajib. Yang difokuskan bagaimana 'merayu' Allah. Jika Allah sudah bernaung dalam hatinya, maka semua masalah akan terselesaikan. Jangankan ingin menyelesaikan hal-hal yang rasional, hal-hal irrasional pun serba mungkin. Jangakan ingin menjadi kyai, wali atau ulama, mencetak seorang kyai, wali atau ulama pun dapat dimohonkan.
Proses menuju kedekatan pada Allah bagi golongan ini bukan dengan banyak melakukan mujahadah dengan segala variasinya, tapi lewat uji keyakinan dalam setiap masalah yang dihadapkan oleh Allah kepadanya. Pertaruhan bukan lagi kepada do'a-do'a dan dzikir-dzikir, tapi langsung bersandar kepada tebal tipisnya keyakinan pada Allah. Bersandar pada do'a-do'a bagi golongan ini tidak menyelesaikan masalah, sebab do'a hanyalah sekedar sarana bukan tujuan. Jika mereka berdo'a, itu bukan untuk meminta dikabulkan hajat, tapi sekedar menunaikan perintah Tuhan. Tujuan mereka hanya satu, yaitu merasakan belaian kasih saying Allah, merasa dekat dan menyatu dalam rasa meskipun tidak dapat dilihat oleh panca indera.