Kegagalan Istiqomah
- Detail
- Ditulis oleh Pujangga Tanpa Sangka
(Ulat, Kepompong dan Buaya Hina)
Wahai ulat yang tahu diri, agar tidak musnah dimakan zaman dan kefanaan serta kekekalan.
Bungkuslah dirimu dengan kepompong.
Kepompong puasa dan dzikir,
Kepompong kesendirian dan diam,
Kepompong tawakal pada rizqi,
Kepompong keyakinan perubahan.
Selama engkau dalam kepompong jangan ragu wahai Saudaraku. Tapi jalanilah agar engkau dapat berubah diri. Tiada yang tahu perubahan, namun itu kodrat alam serta pasti. Jika berani sebab tiada akan ada perubahan pada aturan yang telah ditetapkan. Wahai Saudaraku, pegang erat, namun engkau akan jatuh jua pada lembah ini, sebab tergores dan teroleh lezat madu, putik sari pada bunga serta cahaya kunang-kunang Arwah. Hingga bila ada seruan janganlah putus asa dari Rahmat. Tiada putus asa kecuali ingkar pada Tuhan.
Bangkitlah dirimu dengan segenap ilmu, ulat, kupu-kupu dan kunang-kunang dengan penuh pasti karena pernah engkau jalani dan alami. Wahai Saudaraku, katakanlah tiada daya dan upaya kecuali dari yang jadi tujuanmu. Dengan IzinNya engkau berdaya. Semoga engkau arif dan bijaksana. Wahai Saudaraku, dengan kearifan pada jalan dan hamba-hambanya serta kebijaksanaan pada penyusuran tujuan.Terlihatlah kini kesatuan pada ribuan jalan yang menujukan pada tujuan. Begitu pula rintangan yang merintangi tercapainya pada Tujuan Keabadian. Wahai Saudaraku, dengan segala ketidakberdayaan pada kearifan dan kebijaksanaan terbit setitik keterangan pada penyerahan bulat-bulat walau dalam kebimbangan dan keraguan serta kegelapan. Berharaplah…! Bukankah ulat hina-dina menjadi kupu-kupu jelita. Bukankah kupu-kupu istiqomah menjadi kunang-kunang yang bercahaya, kini tinggallah kenangan yang membayang.
Wahai Saudaraku, harapan tinggal harapan. Kearifan dan kebijaksanaan dari ilmu sudah tidak berdaya tapi tujuan masih sangat jauh. Menangislah karena salah dan lelah serta lalai,itulah air mata buaya hina. Oh Buaya hina berlinang air mata penuh duka nestapa disaksikan ribuan mata dengan bahasa tanpa kata, berkata: engkau buaya kalah. Seberapa lamakah?
Lalu tertawalah, dan katakanlah kebenaran yang sebenarnya. Akulah Sang Petualang istiqomah yang telah menempuh jalan menuju Tujuan Keabadian dan Keazalian atau apa pun sebutan pada itu. Lalu dengan hampa antara menangis dan tertawa, tertawa dan menangis, berceritalah. Doakanlah dan bantulah dengan senyum tipis dan sinis. Wahai Saudaraku, dahulukan pada urutan dari ulat hina yang bertapa hingga menjadi kupu-kupu dan menjadi kunang-kunang hingga terlempar jadi buaya.
Telah mendidik babi kerakusan,
Telah mendidik anjing kemarahan,
Telah mendidik katak kesetanan,
Telah mendidik akal jadi kunang,
Wahai Saudaraku,
Ribuan mata memandang,
Ribuan tangan menggapai,
Ribuan kaki berjalan,
Ribuan kepala berdatangan,
Kepada buaya yang menangis,
Berlinangan dan tersenyum sinis dan tipis.
Wahai saudaraku, akhirnya kearifan dan kebijaksanaan dating kepadanya sambil membawa susunan serta urutan perjalanan mulai kalam, dzikir, sholawat dan do'a dengan susunan yang seksama pada sang buaya hina dan terlena. Terlena buaya pada penyesalan kelalaian kelezatan, bercerita tentang pengalaman untuk mencapai tujuan. Dari banyaknya buaya bercerita tentang hingga jadilah beragam buku dan kilat yang dijadikan dari ceritera perjalanannya yang gagal belum terlaksana. Wahai Saudaraku, Buaya tetaplah buaya yang memakan sesama dan bangkai. Walaupun dari jelmaan,dengarlah tangisan dan ratapan penyesalannya. Walau telah dibukukan dan dibakukan dengan susunan.
Wahai Saudaraku, buaya jelmaa berkata; janganlah terburu nafsu, janganlah marah meluap-luap, janganlah mencari-cari alasan, janganlah ujub dan sombong, akulah jadinya. Wahai Saudara, dari susunan kitab buaya tersusun kitab ilmu perjuangan, perjalanan, pertolongan dan riwayat sang buaya hina terlena. Dengan kearifan dan bijaksana tersusun pula kitab “Kutubul Insani” bagi para petualang istiqomah yang mana belum sempurna dalam lakunya. Wahai Saudaraku, bangkitlah dirimu janganlah terlena oleh tangisan dan senyuman buaya lalai dan kalah serta terlena yang berharap tapi tidak berbuat, yang senang dengan sanjung dan puji juga sebutan nyeleneh atau “beda” dan lain sebutan. Hindarilah dari semua itu, mulai berjalan kembali mencapai tujuan. Wahai Saudaraku, setelah 13 tahun lamanya, akhirnya sang buaya jelmaan mulai menyadari kelalaiannya pada mencapai tujuan. Hingga dia merubah diri jadi buaya putih pertapa terus menggapai dan berjuang. Mula-mula buaya putih berpegang pada kalam, lalu pada penghulu jalan dan pada penempuh jalan yang telah sampai tujuan.
Wahai Saudaraku. Kenapa kunang-kunang jadi buaya? Saudarku, karena dia menoleh dan tergiur kemudian menangis bukan pada yang menjadi tujuan, tapi pada kehilangan maka jadilah dia buaya. Dari air matanya menjadi sanjung dan puji ulat-ulat hina. Dari ratapan dan rintihannya jadi kitab-kitab tuntunan kupu-kupu malang. Dari sedu-sedannya menjadi petunjuk dan arah. Dari tertawa dan sinis senyumnya menjadi rahasia kunang-kunang yang terbuang cahayanya, yang iri pada cahaya besar. Wahai Saudaraku, inilah kitab penuturan dari perjalanan petualang istiqomah yang gagal yang akhirnya jadi buaya putih pertama sehingga dia memperoleh ilham untuk melanjutkan perjalanan menuju tujuan. Kembalilah, pegang erat kalam dan penghulu istiqomah serta para penempuh jalan yang telah sampai pada tujuan. Rubahlah dirimu dari buaya menjadi manusia. Bertapa 41 hari ditambah 41 hari lagi, dan 41 hari lagi, maka berubahkan dia menjadi manusia.
Wahai Saudaraku, 41 hari pertama pada kalam baik bacaan dan arti hingga didapat pemahaman tentang pokok jalan yang sebenarnya. 41 hari kedua, pada menemui penghulu manusia, penghulu jalan istiqomah meminta pertolongan pada tahapan demi tahapan dalam perjalanan serta do'a restu. 41 hari ketiga, bertawassul atau berwasilah pada para penempuh jalan agar diberikan petunjuk dan tuntunan serta bekal dalam perjalanan. Wahai Saudaraku setelah bertapa atau beruzlah 41 x 3 maka resmilah dia jadi manusia penempuh jalan istiqomah untuk mencapai tujuan.