Sang Alkhemis
- Detail
- Ditulis oleh Admin
Alkemis itu mengambil buku yang dibawa seseorang dalam karavan. Membuka-buka halamannya, dia menemukan sebuah kisah tentang Narcissus. Alkemis itu sudah tahu legenda Narcissus, seorang muda yang setiap hari berlutut di dekat sebuah danau untuk mengagumi keindahannya sendiri. Ia begitu terpesona oleh dirinya hingga, suatu pagi, ia jatuh kedalam danau itu dan tenggelam.
Di titik tempat jatuhnya itu, tumbuh sekuntum bunga, yang dinamakan narcissus. Tapi bukan dengan itu pengarang mengakhiri ceritanya. Dia menyatakan bahwa ketika Narcissus mati, dewi-dewi hutan muncul dan mendapati danau tadi, yang semula berupa air segar, telah berubah menjadi danau airmata yang asin.
"Mengapa engkau menangis?" tanya dewi-dewi itu.
"Aku menangisi Narcissus," jawab danau.
"Oh, tak heranlah jika kau menangisi Narcissus," kata mereka, "sebab walau kami selalu mencari dia di hutan, hanya kau saja yang dapat mengagumi keindahannya dari dekat."
"Tapi... indahkah Narcissus?" tanya danau.
"Siapa yang lebih mengetahuinya daripada engkau?" dewi-dewi bertanya heran.
"Di dekatmulah ia tiap hari berlutut mengagumi dirinya!"
Danau terdiam beberapa saat. Akhirnya, ia berkata:
"Aku menangisi Narcissus, tapi tak pernah kuperhatikan bahwa Narcissus itu
indah. Aku menangis karena, setiap ia berlutut di dekat tepianku, aku bisa
melihat, di kedalaman matanya, pantulan keindahanku sendiri.
"Kisah yang sungguh memikat," pikir sang alkemis.
NAMA BOCAH ITU SANTIAGO, petang menjelang ia tiba dengan kawanan ternaknya di sebuah gereja yang terbengkalai. Atapnya sudah lama runtuh, dan pohon sikamor yang sangat besar tumbuh di titik tempat sakristi pernah berdiri.
Dia memutuskan untuk bermalam di situ. Dia melihat ke arah domba-dombanya yang masuk lewat pagar yang rusak, kemudian meletakkan papan di atas pagar rusak itu supaya kawanan ternak tidak keluyuran di malam hari. Tak ada serigala di daerah ini, tapi seekor domba pernah tersesat di malam hari, dan si bocah harus mencarinya sepanjang esok harinya.
Dia menyapu lantai dengan jaketnya dan merebahkan badan, menjadikan buku yang baru selesai dibacanya sebagai bantal. Dia berkata dalam hati bahwa dia harus mulai membaca buku yang lebih tebal: ia lebih lama dibaca, dan lebih nyaman sebagai bantal.
Hari masih gelap ketika dia terbangun, dan mendongakkan kepala, dia dapat melihat bintang-bintang melalui atap yang nyaris hancur. Aku ingin tidur lagi sebentar, pikirnya. Dia bermimpi yang sama seperti minggu lalu, dan sekali lagi dia terbangun sebelum mimpinya selesai.
Dia bangkit, mengambil tongkatnya, dan membangunkan domba-domba yang masih tidur. Dia perhatikan, segera setelah dia bangun, kebanyakan hewan piaraannya juga mulai ribut. Sepertinya ada energi misterius yang menghubungkan hidupnya dengan domba-domba itu, yang telah bersamanya selama dua tahun, menggembalakan mereka menyusuri pedesaan guna mencari makanan dan air.
"Mereka sudah begitu terbiasa denganku hingga tahu jadwalku," gumamnya. Memikir kan hal ini sejenak, dia sadar boleh jadi sebaliknya: dialah yang menjadi terbiasa dengan jadwal mereka. Tapi ada beberapa yang lebih susah dibangunkan. Si bocah menusuk mereka, satu per satu, dengan tongkatnya, memanggil nama mereka masing-masing. Dia percaya domba-domba itu dapat mengerti apa yang diucapkannya. Jadi terkadang dia membacakan mereka bagian dari bukunya yang membuatnya terkesan, atau menceritakan kesepian dan kebahagiaan seorang gembala di ladang. Sesekali dia berkomentar untuk mereka tentang apa yang dilihatnya di desa-desa yang mereka lalui.
Tapi beberapa hari terakhir ini, yang ia bicarakan kepada domba-dombanya hanya satu: gadis itu, puteri seorang pedagang yang tinggal di desa yang akan mereka capai dalam kira-kira empat hari. Dia baru sekali ke desa tadi, tahun lalu. Pedagang itu adalah pemilik toko kain, dan dia selalu meminta agar domba-domba dicukur di hadapannya, supaya dia tidak ditipu. Seorang teman memberitahu sang bocah tentang toko kain itu, dan dibawalah domba-dombanya ke sana.
"AKU MAU JUAL WOL," KATA SI BOCAH KEPADA PEDAGANG ITU.
Toko sedang ramai, maka si pedagang menyuruh gembala itu untuk menunggu sampai sore. Jadi, duduklah si bocah di tangga toko, dan mengeluarkan buku dari tasnya.
"Rupanya ada juga gembala yang bisa membaca," terdengar suara seorang gadis di belakangnya. Paras gadis itu khas daerah Andalusia, dengan rambut hitam bergelombang dan mata yang secara samar-samar mengingatkan pada para penakluk bangsa Moor.
"Yah..., biasanya aku lebih banyak belajar dari domba-dombaku daripada dari buku,"jawabnya. Selama dua jam mereka mengobrol, si gadis memberitahu bahwa dia adalah anak pedagang kain itu, dan bercerita tentang kehidupan di desa tadi, yang setiap hari sama belaka dengan semua hari lain. Si gembala menceritai gadis itu tentang pedesaan Andalusia, dan hal-hal menarik lainnya di kota-kota yang pernah dia singgahi. Suatu peruhahan yang menyenangkan dari bicara dengan domba-dombanya. "Bagaimana kamu belaiar membaca?" tanya gadis itu suatu ketika.
"Sama seperti orang-orang lain," katanya. "Di sekolah."
"Eh, kalau kamu bisa baca, kenapa cuma jadi gembala?"
Si bocah menjawab dengan menggumam-gumam tak jelas supaya dia bisa mengelak untuk menjawab pertanyaan gadis itu. Dia yakin si gadis tidak akan pernah mengerti. Dia melanjutkan kisah perjalanan-perjalanannya, dan mata bening Moor gadis itu membelalak takut dan terkejut. Waktu terus berjalan, dan sang bocah berharap semoga hari itu tak akan pernah berakhir, semoga ayah gadis itu terus sibuk dan membiarkan dia menunggu selama tiga hari. Dia sadar dia merasakan sesuatu yang belum pernah dia alami: hasrat untuk menetap di satu tempat buat selamanya. Bersama gadis berambut hitam legam ini, hari-harinya tentulah tak akan sama seperti dulu. Tapi akhirnya pedagang itu muncul, dan menyuruhnya untuk mencukur empat domba. Dia membayar wol itu dan meminta sang gembala untuk kembali tahun depan.
DAN SEKARANG HANYA TINGGAL EMPAT HARI LAGI DIA AKAN kembali ke desa itu. Dia gembira, dan sekaligus gelisah: barangkali gadis itu sudah lupa padanya. Banyak gembala yang lewat, menjual wol mereka. "Tak masalah," katanya kepada domba-dombanya. "Aku kenal gadis-gadis lain di tempat-tempat lain." Tapi dalam hati dia tahu itu adalah masalah. Dan dia tahu bahwa para gembala, seperti pelaut dan seperti pedagang keliling, selalu menemukan sebuah kota di mana ada seorang yang mampu membuat mereka melupakan keasyikan mengembara sesuka hati.
Hari mulai terang, dan sang gembala menggiring domba-dombanya ke arah matahari. Mereka tidak perlu membuat keputusan apapun, pikirnya. Mungkin itulah sebabnya mereka selalu berada di dekatku. Yang menjadi perhatian domba-domba itu hanyalah makanan dan air. Selama si bocah tahu di mana mendapatkan padang rumput yang bagus di Andalusia, mereka akan jadi temannya. Betul, hari-hari mereka sama belaka, dangan jam-jam yang tampak tanpa akhir antara pagi dan petang; dan mereka tak pernah baca buku di masa muda mereka, dan tak tahu kalau sang bocah bercerita tentang pemandangan kota. Mereka puas hanya dangan makanan dan air, dan, sebagai imbalannya, mereka dangan murah hati memberikan wol, rekan mereka, dan -- sesekali-- daging mereka.
Jika suatu hari aku jadi monster, dan memutuskan membunuh mereka, satu per satu, mereka akan waspada baru setelah hampir seluruh kawanan ini terjagal, pikir si bocah. Mereka mempercayaiku, dan mereka sudah lupa bagaimana mengandalkan naluri mereka sendiri, karena aku menggiring mereka ke makanan. Si bocah terkejut dengan pikiran-pikirannya. Mungkin karena gereja itu, dengan pohon sikamor yang tumbuh di dalamnya, ada hantunya. Itulah yang telah membuatnya bermimpi yang sama dua kali, dan menyebabkan dia merasa geram terhadap kawan-kawan setianya. Dia minum sedikit dari anggur sisa makan malamnya kemarin, dan merapatkan jaket ke badannya. Dia tahu bahwa beberapa jam lagi dari sekarang, dengan matahari di titik puncak, panasnya akan sangat terik sehingga dia tidak akan sanggup membimbing kawanan domba itu melewati padang. Itu adalah saat segenap warga Spanyol tidur selama musim panas. Panasnya teror berlanjut sampai malam tiba, jadi sepanjang waktu itu dia harus membawa-bawa jaketnya. Tapi ketika dia ingin mengeluh tentang beratnya jaket tadi, dia ingat, karena dia punya jaketlah maka dia kuat menahan dinginnya pagi. Kita harus siap menghadapi perubahan, pikirnya, dan dia bersyukur dengan tebalnya jaket dan kehangatannya.
Jaket itu punya tujuan, begitu juga si bocah. Tujuannya dalam hidup adalah berkelana, dan, setelah dua tahun menyusuri kawasan Andalusia, dia tahu semua kota di wilayah itu. Dia berencana, pada kunjungannya kali ini, untuk menjelaskan pada gadis itu bahwa begitulah cara seorang gembala jelata mernbaca. Bahwa dia pernah belajar di seminari sampai umur enambelas. Orangtuanya ingin supaya dia jadi pastur, dan dengan begitu bisa menjadi kebanggaan sebuah keluarga petani miskin. Mereka bekerja keras hanya untuk mendapatkan makanan dan air, seperti domba-domha itu. Dia sudah belajar bahasa Latin, Spanyol dan teologi. Tapi sejak radikal collection kecil dia sudah ingin tahu tentang dunia, dan ini jauh lebih penting baginya daripada mengetahui Tuhan dan mempelajari dosa-dosa manusia. Suata sore, saat mengunjungi keluarganya, dia memberanikan diri bicara kepada ayahnya bahwa dia tidak ingin jadi pastur. Bahwa dia ingin mengembara.
"ORANG-ORANG DARI SELURUH DUNIA PERNAH MELEWATI desa ini, Nak," kata ayahnya. "Mereka datang untuk mencari hal-hal baru, tapi begitu mereka pergi sebenarnya mereka sama saja dengan saat mereka datang. Mereka mendaki gunung untuk melihat kastil itu, dan mereka akhirnya menyimpulkan bahwa masa silam lebih baik daripada yang kita alami sekarang ini. Mereka berambut pirang, atau berkulit gelap, tapi pada dasarnya mereka sama seperti orang-orang yang tinggal di sini."
"Tapi aku ingin melihat kastil-kastil di kota-kota tempat tinggal mereka," si bocah menjelaskan. "Orang-orang itu, saat mereka melihat negeri kita, pun berkata ingin tinggal di sini selamanya," lanjut ayahnya. "Kalau begitu, aku ingin melihat negeri mereka dan melihat bagaimana kehidupan
mereka," kata anaknya. "Orang-orang yang datang ke sini itu uangnya banyak, jadi mereka mampu berkelana," kata ayahnya. "Di kalangan kita, yang berkelana hanya para gembala.""Kalau begitu, aku mau jadi gembala!"